Minggu, 02 Januari 2011

bentuk kecintaan kepada Allah

Disusun oleh;
Muh. Saiful Haq
(salah satu mahasiswa pondok HNS-UMS)
BENTUK-BENTUK KECINTAAN KEPADA ALLAH

A. Pendahuluan
Di dunia ini kita telah dibekali oleh Allah berbagai perangkat yang sangat kita butuhkan untuk mengarungi kehidupan. Potensi indera dengan segala nikmatnya, potensi akal, ruh, dan sebagainya, semua itu adalah perangkat untuk menjalani kehidupan di dunia.
Kita adalah makhluk yang mukalaf, makhluk yang diberi beban tanggung jawab oleh Allah. Karena itu, Allah memberikan pada kita bekal yang tidak diberikan pada makhluk lainnya. Allah memberikan kita kemampuan berfikir, berbicara, mencerna, memahami, kemudian Allah juga menurunkan Rasul-Nya, kitab-Nya. Itu semua adalah Hujjah atau argument apabila saatnya kita dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
Berbeda dengan makhluk Allah lainnya yang tidak akan dimintai pertanggungjawaban dihadapan Allah, kita akan ditanya akan segala potensi yang dikaruniakan oleh Allah. Dalam surat Al-Isra ayat 36: Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ketahui. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
Dengan kelebihan itu semua, hendaknya kita dapat bersyukur atas limpahan rahmatnya, agar kita tidak tersesat dalam menjalani kehidupan ini. Selain itu, seorang hamba pun hendaknya membuktikan kecintaannya kepada Allah dengan melaksanakan bentuk-bentuk kecintaaan kepada Allah dengan melaksanakan bentuk-bentuk kecintaan kepada Allah.
Sebagaimana Allah berfirman:
     •          
Artinnya: “Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah maha pengampun lagi maha penyayang”

B. Pembahasan
Baiklah mari kita bahas ayat-ayat yang mengenai bentuk-bentuk kecintaan kepada Allah, baik secara umum maupun secara khusus.
a. Secara garis umum bentuk kecintaan kepada Allah, Allah menjelaskas kepada kita semua melalui firmannya, dalam surat Al-imron ayat 31-32:
     •                  •     
“Katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu, Allah maha pengamun lagi maha penyayang. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".”

Tafsir Pada ayat 31
Dikisahkan oleh Imam al-Baghawi dalam tafsirnya Ma'aalimut Tanziil (1/341. Cet. Daar Thoyyibah 1423 H), bahwa ayat ini turun ketika Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam berkata kepada kafir Quraisy yang tengah bersujud menyembah berhala (simbol tokoh-tokoh wafat yang dikeramatkan) ; "Wahai segenap kaum Quraisy! Sungguh kalian telah menyalahi agama Bapak kalian, Ibrahim dan Isma'il". Kafir Quraisy lantas menjawab: "Kami menyembah berhala itu semata-mata cinta kepada Allah, agar mereka (tokoh-tokoh wafat yang dikeramatkan itu) mendekatkan kami kepada Allah". Maka Allah menjawab dengan ayat di atas.
Betapa indahnya ungkapan Ibnul Qayyim rahimahullaah ketika menafsirkan ayat cinta ini [Raudhatul Muhibbiin: 251. Lih. Badaa-i'ut Tafsiir: 1/498]: "Maka Allah menjadikan ittiba' (mengikuti) Rasul sebagai bukti kecintaan mereka kepada Allah. Keadaan seorang hamba yang dicintai Allah lebih tinggi dari keadaannya yang mencintai Allah. Permasalahannya bukan pada (pengakuan) cintamu kepada Allah, akan tetapi (apakah) Allah mencintaimu. Maka ketaatan kepada yang dicintai (Allah dan Rasul) adalah bukti cinta kepada-Nya, sebagaimana diungkapkan (dalam syair) Artinya:
"Engkau bermaksiat kepada ilahi, sedangkan engkau mendakwa cinta kepada-Nya"
"Ini dalam analogi adalah kemustahilan yang diada-adakan"
"Jika saja dakwaan cintamu jujur, niscaya engkau akan mentaati-Nya"
"Sesungguhnya seorang pecinta terhadap yang dicintai, akan taat"
Semua orang, entah ia jujur dalam ketaatannya atau seorang munafik yang bermuka dua, bisa berucap: "Saya mencintaimu Yaa Allah", namun apakah Allah membalas cintanya? Inilah yang menjadi inti permasalahan. Maka bukti kejujuran seorang hamba dalam mencintai Allah adalah ittiba'-nya kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam. Tentu saja yang dimaksud ittiba' di sini adalah dalam segala hal, baik yang dicontohkan untuk kita kerjakan ataupun yang beliau tinggalkan (tidak kerjakan) untuk kita tinggalkan pula.
Imam Ibnu Katsir rahimahullaah menafsirkan: "Ayat ini merupakan pemutus hukum bagi setiap mereka yang mengaku cinta kepada Allah, sedangkan ia tidak berada di atas jalan Muhammad Shalallahu 'alaihi wa salam. (Jika demikian) maka sungguh ia seorang pendusta dalam pengakuannya, sampai ia mengikuti syari'at dan agama Muhammad Shalallahu 'alaihi wa salam pada seluruh ucapan dan perbuatan beliau. Sebagaimana riwayat hadits yang shahih (riwayat Muslim) dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa salam, bahwasanya beliau bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاَ لَيْسَ عَلَيْهِ اَمْرُ ناَ فَهُوَ رَ دٌّ
"(Artinya) barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalannya itu tertolak".

Pada ayat 32
Ayat ini masih berkaitan sangat eratdengan ayat yang sebelumnya, yang mengajak kepada cinta Allah dan Rasul-Nya. Tidak diragukan bahwa peringkat mengikuti dan meneladani Nabi yang mengantar kepada cinta Allah adalah suatu peringkat yang tidak mudah diraih, maka ayat ini mengajak kepada tingkat yang lebih rendah, seakan-akan al-qur’an berpesan; “kalau anda tidak dapat mengikuti dan meneladani beliau sehingga mencapai tingkat cinta, maka paling tidak, taatilah beliau dengan mengerjakan apa yang beliau wajibkan atas nama Allah, dan jauhilah apa yang beliau haramkan atas nama Allah. Kalau ini pun kalian tolak dengan berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.
Kalau diamati ayat-ayat al-qur’an yang memerintahkan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ditemukan ada dua pola redaksi yang berbeda. Suatu kali perintah taat kepada Allah dirangkaikan dengan perintah taat kepada Rasul tanpa mengulangi kata “Ta’atilah” seperti pada ayat ini dan di kali lain kata “Ta’atilah” diulangi masing-masing sekali ketika memerintahkan taat kepada Allah dan sekali lagi ketika memerintahkan taat kepada Rasul saw. Perhatikanlah firman-Nya:
          
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
Para pakar al-qur’an menerangkan bahwa apabila perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya digabungkan dengan menyebut perintah taat hanya sekali, maka itu mengisyaratkan bahwa ketaatan dimaksudkan adalah ketaatan yang diperintahkan oleh Allah SWT, baik yang diperintah-Nya secara langsung dalam al-qur’an, maupun perintah-Nya yang dijelaskan oleh Rasulullah melalui hadits beliau. Perintah taat kepada Rasul saw di sini menyangkut hal-hal yang bersumber dari Allah SWT., bukan yang beliau perintah secara langsung atas nama beliau. Adapun bila perintah taat diulangi seperti Q.S. an-Nisa ayat 59 diatas, maka disitu rasulullah saw memiliki hak atau wewenang untuk ditaati, walaupun tidak ada dasar dalam al-qur’an. Itu sebabnya tidak diulangi perintah taat kepada ulil amri, karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati bila ketaatan mereka bertentangan dengan Allah SWT atau Rasul-Nya.
Ayat yang sedang ditafsirkan ini tidak mengulangi perintah taat kepada rasul. Ini agaknya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ketaatan serta cinta kepada Allah dibuktikan oleh ketaatan dan atau cinta kepada rasul. Karena perintah kepada rasul pada hakekatnaya sama dengan perintah kepada Allah, sebab perintah-perintah beliau bersumber dari Yang Maha Kuasa itu.
Begitu pula dijelaskan dalam ayat 32, seakan-akan berkata; apabila mereka berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai mereka karena kekufuran mereka, dan bila mereka menerima dan taat, maka Allah mencintai mereka karena keimanan mereka, sebab Allah tidak mencitai orang-orang kafir, tetapi mencintai orang-orang mukmin.

b. Secara khusus bentuk kecintaan kepada Allah, meliputi: bentuk-bentuk kecintaan kepada Allah terkait dengan aqidah, bentuk-bentuk kecintaan kepada Allah terkait dengan akhlaq, bentuk-bentuk kecintaan kepada Allah terkait dengan ibadah, bentuk-bentuk kecintaan kepada Allah terkait dengan muamalah.
1. Bentuk-bentuk kecintaan kepada Allah terkait dengan aqidah
Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 165:
 ••                        •    •    
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
[106] yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.
Bukti cinta kepada Allah, dicontohkan oleh para sahabat Nabi, ketika diperintahkan meninggalkan khamr, dengan ayatnya:
               
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Para sahabat segera membuang simpanan khamr-nya ke jalan-jalan sehingga digamabarkan jalanan seperti banjir khamr. Padahal khamr adalah minuman sehari-hari masyarakat Qurays pada saat itu.
2. bentuk-bentuk kecintaan kepada Allah terkait dengan akhlaq
Orang yang mencintai Allah senantiasa selalu berjalan diatas syariatnya, karena hal itulah Allah akan memberikan petunjuk jalan yang lurus. Sesuai janji-Nya, Allah berfirman:
   •        
AlIah berfirman: "Sesungguhnya Telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak Mengetahui".
                 •                      
Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Maa’idah: 54)


Dengan kecintaannya pada Allah seorang hamba senantiasa selalu berbuat baik dan tidak mengedepankan hawa nafsunya. Allah berfirman:
                                           
Maka Karena itu Serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah[1343] sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan Aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)".
[1343] Maksudnya: tetaplah dalam agama dan lanjutkanlah berdakwah.
Dan diayat yang lain Allah menyerukan pada hambanya untuk menjadi orang yang pemaaf. Sebagaimana Allah berfirman:
       
Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.

3. bentuk-bentuk kecintaan kepada Allah terkait dengan ibadah
Allah mernyerukan pada hambanya agar selalu menjaga shalat-nya, Allah berfirman:
        
Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa[152]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. (QS. Al-Baqarah: 238)
[152] Shalat wusthaa ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Shalat wusthaa ialah shalat Ashar. menurut kebanyakan ahli hadits, ayat Ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Dan selain itu berbuat kebajikan dan menjalankan ibadah yang lainnya adalah bukti bentuk kecintaan seorang hamba kepada Allah. Sebagaimana Allah berfirman:
                  •                 •           •         
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerde-kakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.(QS. Al-Baqarah: 177)
Orang yang senantiasa beribadah dan menjaga shalatnya, akan terjaga juga akhlaqnya, karena shalat lebih besar keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain. Sebagaimana Allah berfirman:
                        
Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-ankabut: 45)




4. bentuk-bentuk kecintaan kepada Allah terkait dengan muamalah
Sering kita mengaku cinta kepada Allah dan rasul-Nya. Terutama pada momen-momen penting dan situasi serta kondisi tertentu, seperti ketika kita sedang beribadah atau dalam peringatan hari-hari besar seperti maulid Nabi. Ketika kita mengaku mencintai Allah dan Rasul-Nya, maka Allah menghadapkan kepada kita dengan ayat-ayat ujian untuk membuktikan pengakuan kecintaan kita kepada Allah dan rasul-Nya.
Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. At-Taubah ayat 24:
                                  
Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.

Kita tidak dilarang mencintai delapan hal di atas (1. Bapa, 2. Anak, 3. Saudara, 4. Isatri, 5. Kerabat, 6. Harta, 7. Bisnis, 8. Rumah.) tapi Allah memberi peringatan untuk menguji kecintaan kita kepada Allah. Apakah delapan hal itu, yang lebih kita daripada Allah dan rasul-Nya. Ataukah kita masih istiqomah menomorsatukan Allah dan rasul-Nya. Jadi kecintaan kita kepada Allah harus di atas segalanya.
Buktinya adalah, apabila kita lebih memenuhi panggilan Allah daripada daya tarik kedelapan hal di atas. Kita lebih menegedepankan aturan Allah dan rasul-Nya, ketika melaksanakan aktifitas muamalah kita. Ketika setiap hari kita sibuk mencari harta dengan bekerja dan berbisnis, semua itu harus dilaksanakan dalam rambu-rambu halal dan haram yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya. Maka dengan demikian kerja kita menjadi ibadah, karena kita mendapat ridha Allah. Sangat mustahil kita mengaku beribadah kepada Allah dalam aktifitas bisnis dan kerja kita, sementara kita tidak mampu menghindari hal-hal yang dilarang oleh Allah. Ibadah harus dilaksanakan dengan kegiatan yang diridhai oleh Allah.

C. Penutup
Dengan timbangan cinta sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, tentunya kita bisa menilai diri kita masing-masing, apakah kita telah benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan cinta yang jujur? Ataukah kata cinta yang telah kita ucapkan pada Allah dan Rasul-Nya hanya sebatas pemanis di bibir dan penghias bait-bait melankolis (puisi) yang justru melalaikan kita dari Al-Qur’an? Ataukah mungkin definisi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya sudah cukup terwakilkan oleh tetesan air mata dan bergolaknya perasaan setelah mengikuti alur cerita novel dan film “islami”? sungguh jika demikian, kita telah terbuai oleh halusnya tipuan setan.

DAFTAR PUSTAKA

Alqur’an Digital versi 2.1. 2004. Hak cipta hanya milik Allah swt.
Depag RI. 1993. Al-qur’an dan Terjemahannya. Gema Risalah Press: Bandung.
Bahreisy, H. Salim dan Said Bahreisy. 1984. Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier. PT. Bina Ilmu: Surabaya.
Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir Al-mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Lentera Hati; Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar