Minggu, 02 Januari 2011

kepribadian islami

Di susun oleh:
Adi Wiratama
(salah satu mahasiswa pondok HNS-UMS)
A. Pendahuluan
Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul , sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi umat manusia sepanjang masa, yang menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi. Agama Islam, yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang diturunkan Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbul) berupa perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup manusia di dunia dan akhirat. Ajaran Islam bersifat menyeluruh yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan meliputi bidang-bidang aqidah, akhlaq, ibadah, dan mu'amalah duniawiyah. Islam adalah agama untuk penyerahan diri semata-mata kepada Allah, Agama semua Nabi-nabi, Agama yang sesuai dengan fitrah manusia Agama yang menjadi petunjuk bagi manusia ,Agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama ,Agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna. Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup Tauhid kepada Allah fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah , dan menjalankan kekhalifahan , dan bertujuan untuk meraih Ridha serta Karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benar-benar diimani, difahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri . Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama:
a. Kepribadian Muslim
b. Kepribadian Mu'min,
c. Kepribadian Muhsin dalam arti berakhlak mulia , dan
d. Kepribadian Muttaqin .
Dalam pembahasan kali ini pemakalah akan menyampaikan beberapa ayat-ayat al-Qur’an mengenai kepribadian Muslim dan kepribadian Mukmin.
B. Pembahasan
Al-Qur’an dan sunnah merupakan dua pusaka Rasulullah SAW yang harus selalu dirujuk oleh setiap muslim dalam segala aspek kehidupan. Satu dari sekian aspek kehidupan yang amat penting adalah pembentukan dan pengembangan pribadi muslim. Pribadi muslim yang dikehendaki Al-Qur’an dan sunnah adalah pribadi yang saleh. Pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah SWT.
Persepsi (gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda. Bahkan banyak yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.
Kepribadian Muslim
Ayat-ayat yang menunjukkan kepribadian Muslim antara lain adalah,
   •                        •    
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami Telah tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al Hujuraat : 14)
Ada indikasi bahwa Islam adalah inisial seseorang masuk ke dalam lingkaran ajaran Ilahi. Sebuah Ayat Suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman belum masuk ke dalam hati mereka (lihat, QS. al-Hujarat 49:14). Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam konteks firman itu, kaum Arab Badui tersebut barulah tunduk kepada Nabi secara lahiriah, dan itulah makna kebahasaan perkataan "Islam", yaitu "tunduk" atau "menyerah."
Tentang hadits yang terkenal yang menggambarkan pengertian masing-masing Islam, iman dan ihsan, Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa agama memang terdiri dari tiga unsur: Islam, iman dan ihsan, yang dalam ketiga unsur itu terselip makna kejenjangan: orang mulai dengan Islam, berkembang ke arah iman, dan memuncak dalam ihsan. Ibn Taimiyah menghubungkan pengertian ini dengan firman Allah,
                       
"Kemudian Kami (Allah) wariskan Kitab Suci pada kalangan para hamba Kami yang Kami pilih, maka dari mereka ada yang (masih) berbuat zalim, dari mereka ada yang tingkat pertengahan (muqtashid), dan dari mereka ada yang bergegas dengan berbagai kebijakan dengan izin Allah" (QS. Fathir 35:32).
Menurut Ibn Taimiyah, orang yang menerima warisan Kitab Suci (yakni, mempercayai dengan berpegang pada ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat zalim adalah orang yang baru ber-Islam, menjadi seorang Muslim, suatu tingkat permulaan pelibatan dari dalam kebenaran. Ia bisa berkembang menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mu'min, untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat menengah (muqtashid), yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan zalim, namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja.
Dalam tingkatnya yang lebih tinggi, pelibatan diri dalam kebenaran itu membuat ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau dzalim dan berbuat baik, bahkan ia "bergegas" dan menjadi "pelomba" atau "pemuka" (sabiq) dalam berbagai kebaiikan, dan itulah orang yang telah ber-ihsan, mencapai tingkat seorang muhsin. Orang yang telah mencapai tingkat muqtashid dengan imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-nya, kata Ibn Taimiyah, akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab. Sedangkan orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai tingkat ber-Islam sehingga masih sempat berbuat dzalim, ia akan masuk surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-dosanya itu. Jika ia tidak bertobat tidak diampuni Allah (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman [Kairo: Dar al-Thiba'at al-Muhammadiyah, tt.], hal. 11).
Pada saat ini, tentu saja, kata-kata "al-Islam" telah menjadi nama sebuah agama, khususnya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. yaitu agama Islam. Tapi, secara generik, "Islam" bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis atau sebuah proper noun. Dan ini melibatkan pengertian tentang istilah itu yang lebih mendalam, yang justru banyak diketemukan dalam Kitab Suci. Perkataan itu, sebagai kata benda verbal yang aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini sikap pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap itulah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar dan diterima Tuhan:
•     
"Sesungguhuya agama bagi Allah ialah sikap pasrah pada-Nya (al-Islam)” (QS. Al-Imran 3:19).
Maka selain dapat diartikan sebagai nama sebuah agama, yaitu agama Islam, perkataan al-Islam dalam firman ini bisa diartikan secara lebih umum, yaitu menurut makna asal atau generiknya, yaitu "pasrah kepada Tuhan," suatu semangat ajaran yang menjadikan karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah dasar pandangan dalam al-Qur'an bahwa semua agama yang benar adalah agama Islam, dalam pengertian semuanya mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, sebagaimana antara lain bisa disimpulkan dari firman.
               •            
“Dan janganlah kamu sekalian berbantahan dengan para penganut Kitab Suci (Ahl al-Kitab) melainkan dengan yang lebih baik, kecuali terhadap mereka yang dzalim. Dan nyatakanlah kepada mereka itu, "Kami beriman kepada Kitab Suci yang diturunkan kepada kami dan kepada yang diturunkan kepada kamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Maha Esa, dan kita semua pasrah kepada-Nya (muslimun) (Q.S. al-'Ankabut 29:46).
Sama dengan perkataan "al-Islam" di atas, perkataan "muslimun" dalam firman itu lebih tepat diartikan menurut makna generiknya, yaitu "orang-orang yang pasrah kepada Tuhan." Jadi seperti diisyaratkan dalam firman itu, perkataan muslimun dalam makna asalnya juga menjadi kualifikasi para pemeluk agama lain, khususnya para penganut Kitab Suci. Ini juga diisyaratkan dalam firman:
                •                 •                         
“Apakah mereka mencari (agama) selain agama Tuhan? Padahal telah pasrah (aslama - "ber-Islam") kepada-Nya mereka yang ada di langit dan di bumi, dengan taat atau pun secara terpaksa, dan kepada-Nya-lah semuanya akan kembali. Nyatakanlah, "Kami percaya kepada Tuhan, dan kepada ajaran yang diturunkan kepada kami, dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub serta anak turun mereka, dan yang disampaikan kepada Musa dan 'Isa serta para Nabi yang lain dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan mereka itu, dan kita semua pasrah (muslimun) kepada-Nya. Dan barang siapa menganut agama selain sikap pasrah (al-Islam) itu, ia tidak akan diterima, dan di akkirat termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. 'Alu-'lmran 3: 83-85).
Ibn Katsir dalam tafsirnya tentang mereka yang pasrah (muslimun) itu mengatakan yang dimaksud ialah "mereka dari kalangan umat ini yang percaya pada semua Nabi yang diutus, pada semua Kitab Suci yang diturunkan, mereka tidak mengingkarinya sedikitpun, melainkan menerima kebenaran segala sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua Nabi yang dibangkitkan oleh Tuhan" (Tafsir Ibn Katsir [Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H/1984 M), jilid 1, hal. 380).
Sedangkan al-Zamakhsari memberi makna pada perkataan Muslimun sebagai "mereka yang bertawhid dan mengikhlaskan diri pada-Nya," dan mengartikan al-Islam sebagai sikap memaha-esakan (ber-tawhid) dan sikap pasrah diri kepada Tuhan" (taisir al-Kaskshaf [Teheran: Intisharat-e Aftab, tt.] jilid 1, hal. 442).
Dari berbagai keterangan itu dapat ditegaskan bahwa beragama tanpa sikap pasrah kepada Tuhan, betapapun seseorang mengaku sebagai "muslim" atau penganut "Islam", adalah tidak benar dan tidak bakal diterima oleh Tuhan. Selanjutnya, penjelasan yang sangat penting tentang makna "al-Islam" ini juga diberikan oleh Ibn Taimiyah. Ia mengatakan bahwa "al-Islam" mengandung dua makna adalah: pertama, ialah sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong; kedua, ketulusan dalam sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa, seperti difirmankan Allah, "wa rajul-an salam-an li rajul-in" (Dan seorang lelaki yang tulus tunduk kepada satu orang lelaki) (QS. al-Zumar 39:29). Jadi orang yang tulus itu tidak musyrik, dan ia adalah seorang hamba yang berserah diri hanya kepada Allah, Pangeran sekalian alam, sebagaimana Allah firmankan:
                                      •          
“Dan siapalah yang tidak suka kepada agama Ibrahim kecuali orang yang membodohi dirinya sendiri. Padahal sungguh Kami telah memilihnya di dunia, dan ia di akhirat pastilah termasuk orang-orang yang salih. Ketika Tuhannya bersabda kepadanya, "Berserah dirilah engkau!', lalu ia menjawab, "Aku berserah diri (aslam-tu) kepada Tuhan seru sekalian alam." Dan dengan ajaran itu Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. "Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilihkan agama untuk kamu sekalian, maka janganlah sampai kamu mati kecuali kamu adalah orang-orang yang pasrah-muslimun(kepada-Nya).”(Q.S. Al-Baqarah 2:130-132)
                   •                •  
“Katakanlah (hai hluhammad), ",Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhanku ke arah jalan yang lurus. Yaitu agama yang tegak, ajaran Ibrahim, yang hanif, dan tidaklah dia termasuk orang-orang musyrik." Katakan juga (hai Muhammad), "Sesungguhnya sembahyangku, darmabaktiku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah seru sekalian alam, tiada serikat bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan aku adalah yang pertama dari kalangan orang-orang yang pasrah." (QS. al-An'am 6:161-163).

             
Dan kembalilah kamu semua kepada Tuhanmu, serta berserah dirilah kamu semua (aslimu) kepada-Nya sebelum tiba kepada kamu azab, lalu kamu tidak tertolong lagi. (QS. al-Zumar 39:54).
Demikian itu sebagian dari penjelasan yang diberikan Ibn Taimiyah tentang makna al-Islam [lihat, Ibn Taimiyah, al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1976, hal. 72-3). Berdasarkan pengertian-pengertian itu juga harus dipahami penegasan dalam al-Qur'an bahwa semua agama para Nabi dan Rasul adalah agama Islam. Yakni, agama yang mengajarkan sikap tunduk dan patuh, pasrah dan berserah diri secara tulus kepada Tuhan dengan segala qudrat dan iradat-Nya. Maka sebagai misal, mengenai Nabi Ibrahim as. ditegaskan bahwa dia bukanlah seorang penganut agama komunal seperti Yahudi atau Nasrani, melainkan dia adalah seorang yang tulus mencari dan mengikuti kebenaran (hanif) dan yang pasrah kepada Tuhan (muslim) (QS. 'Ali 'Imran 3:67). Demikian agama seluruh Nabi keturunan Ibrahim, khususnya anak-cucu Ya'qub atau Bani Israil, sebagaimana dilukiskan dalam penuturan Kitab Suci, demikian:
                           
“Adakah kamu menyaksikan tatkala maut datang kepada Ya'qub, dan ketika ia bertanya kepada anak-anakuya, "Apakah yang akan kamu sekalian sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab, "Kami menyembah Tuhanmu dan Tuhan leluhurmu, Ibrahim, Isma'il dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, dan kepada-Nya kamu semua pasrah (muslim).” (QS al-Baqarah 2:133).
Kemudian tentang Nabi Musa as. digambarkan melalui ucapan pertobatan Fir'aun bahwa dia, Nabi Musa, membawa ajaran agar manusia pasrah (muslim) kepada Tuhan. Dengan begitu, agamanya pun sebuah agama Islam. Kata Fir'aun! yang berusaha bertobat setelah melihat kebenaran, "Aku percaya bahwa tiada Tuhan kecuali yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang pasrah -muslimun- (kepadaNya)" (QS. Yunus 90:10). Demikian pula, sebuah ilustrasi tentang Nabi 'Isa dan para pengikutnya, menunjukkan bahwa agama yang diajarkannya pun adalah sebuah agama Islam, dalam arti agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada-Nya:
                 •     
”Maka ketika 'Isa merasakan adanya sikap ingkar dari mereka (kaumnya), ia berkata, "Siapa yang akan menjadi pendukungku kepada Allah?" Para pengikut setianya (al-Hawariyyun) berkata, "Kamilah para pendukung (menuju) Allah, kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang pasrah -muslimun- (kepada-Nya).” (QS. 'Ali 'Imran 3:52).
Karena semua agama yang benar adalah agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, maka tidak ada agama atau sikap keagamaan yang bakal diterima Tuhan selain sikap pasrah kepada Tuhan atau Islam itu. Dan karena Islam pada dasarnya bukanlah suatu proper name untuk sebuah agama tertentu (para Nabi, Rasul dan umat terdahulu yang digambarkan dalam Kitab Suci sebagai orang-orang yang pasrah kepada Tuhan itu pun tidak menggunakan lafal harfiah "Islam" atau pun "muslim") maka orang pemeluk Islam sekarang ini, juga seorang muslim, masih tetap dituntut untuk mengembangkan dalam dirinya kemampuan dan kemauan untuk tunduk patuh serta pasrah dan terserah diri kepada Tuhan dengan setulus-tulusnya. Hanya dengan itu agama dan keagamaan bakal diterima Allah, dan di akhirat tidak bakal termasuk mereka yang merugi. Inilah yang sebenarnya dimaksud oleh firman Allah, "Sesungguhnya agama bagi Allah ialah al-Islam (yaitu sikap pasrah yang tulus kepada-Nya) (QS. 'Ali 'Imran 3:19), serta firman Allah: "Dan barangsiapa menganut selain al-Islam (sikap pasrah kepada Allah) sebagai agama maka ia tidak akan diterima, dan di akhirat ia akan termasuk mereka yang menyesal"- (QS. 'Ali 'Imran 3:85). Sudah terang bahwa Islam dalam pengertian ini mustahil tanpa iman, karena ia dapat tumbuh hanya kalau seseorang memiliki rasa percaya kepada Allah yang tulus dan penuh.



Kepribadian Mukmin
                   
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar. (Al Hujuraat : 15)
Kita telah mengetahui pengertian iman secara umum, yaitu sikap percaya, dalam hal ini khususnya percaya pada masing-masing rukun iman yang enam (menurut akidah Sunni). Karena percaya pada masing-masing rukun iman itu memang mendasari tindakan seorang maka sudah tentu pengertian iman yang umum dikenal itu adalah wajar dan benar.
Namun, dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak cukup hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan. Dalam pengertian inilah kita memahami sabda Nabi bahwa iman mempunyai lebih dari tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah menyingkirkan bahaya di jalanan:
Juga dalam pengertian ini kita memahami sabda Nabi, "DemiAllah, ia tidak beriman! Demi Allah, ia tidak beriman!" Lalu orang bertanya, "Siapa, wahai Rasul Allah?" Beliau menjawab, "Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya." Lalu orang bertanya lagi, "Tingkah laku buruknya apa?" Beliau Jawab, "Kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan."
Juga sabda Nabi, "Demi Dia yang diriku ada di Tangan-Nya, kamu tidak akan masuk surga sebelum kamu beriman, dan kamu tidak beriman sebelum kamu saling mencintai. Belumkah aku beri petunjuk kamu tentang sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu akan saling mencintai? Sebarkanlah perdamaian di antara sesame kamu!"
Keterpaduan antara iman dan perbuatan yang baik juga dicerminkan dengan jelas dalam sabda Nabi bahwa orang yang berzina, tidaklah beriman ketika ia berzina, dan orang yang meminum arak tidaklah beriman ketika ia meminum arak, dan orang yang mencuri tidaklah beriman ketika ia mencuri, dan seseorang tidak akan membuat teriakan menakutkan yang mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman."
Tiadanya iman dari orang yang sedang melakukan kejahatan itu ialah karena iman itu terangkat dari jiwanya dan "melayang-layang di atas kepalanya seperti bayangan." Demikian itu keterangan tentang iman yang dikaitkan dengan perbuatan baik atau budi pekerti luhur. (Lihat, Ibn Taimiyah, al-Iman, hal.l2-13).
Berdasarkan itu, maka sesunggahnya makna iman dapat berarti sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik. Ini dikuatkan oleh adanya riwayat tentang orang yang bertanya kepada Nabi tentang iman, namun turun wahyu jawaban tentang kebajikan (al-birr), yaitu:
                  •                 •           •         
“Bukanlah kebajikan itu bahwa kamu menghadapkan wajahmu ke arah Timur atau pun Barat. Tetapi kebajikan ialah jika orang beriman kepada Allah, hari Kemudian, para malaikat, Kitab Suci dan para Nabi. Dan jika orang mendermakan hartanya, betapa pun cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim orang-orang miskin, orang terlantar di perjalanan, dan untuk orang yang terbelenggu perbudakan. Kemudian jika orang itu menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Juga mereka yang menepati janji jika membuat perjanjian, serta tabah dalam kesusahan, penderitaan dan masa-masa sulit. Mereka itulah orang-orang yang tulus, dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa." (QS. 2:177).
Oleh karena itu perkataan iman yang digunakan dalam Kitab Suci dan sunnah Nabi sering memiliki makna yang sama dengan perkataan kebajikan (al-birr), taqwa, dan kepatuhan (al-din) pada Tuhan (al-din) (Lihat Ibn Taimiyah, al-Iman, hal. 162-153).


C. Kesimpulan
Sebuah ayat menegaskan bahwa kita harus bersifat adil sekaligus melakukan ihsan yaitu firman Allah:
 •                 
"Sesungguhnya Allah memerintahkan sikap adil dan ihsan" (QS. al-Nahl 16:90)
Dari berbagai kemungkinan tafsir atas firman itu, melakukan keadilan terhadap segala suatu ialah memahaminya dalam kerangka pandangan yang berkeseimbangan ('adl sendiri artinya seimbang) antara bagian-bagian yang nampak paradoksal, tanpa berat sebelah, dan dengan sikap menerima menurut apa adanya. Kemudian ihsan dapat diartikan sebagai usaha penuh ketulusan untuk mengapresiasikan segi hikmah di balik paradoks-paradoks. Maka sikap tulus dan pasrah, yaitu Islam, tidak mungkin tanpa sikap percaya pada Allah, yaitu iman, yang menghasilkan pandangan positif-optimis pada-Nya dan ciptaan-Nya. Dari sini juga nampak dengan jelas bahwa Islam akan membawa kita pada kedamaian (salam) dan keselamatan (salamah), dan iman akan menghantarkan kita ke aman (rasa sentosa) dan rasa terlindung atau proteksi (amanah), kemudian, akhirnya ihsan akan membingungkan kita menuju hidup yang bahagia (hasanah).













Daftar Pustaka
Depag. RI,Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Gunawan, Aris, 2003, Indeks Tematik Alqur’an: Menjelaskan Segala Permasalahan. Cet. 2, Sidoarjo: Yayasan Pesantren Nur Al-Qur’an
Shihab, M. Quraish, 2007, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Pelbagai Persoalan Umat. Edisi Baru, Bandung: Penerbit Mizan
________________, 2003, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Cet. 1, Jakarta: Penerbit Lentera Hati.
Web
http://www.dakwatuna.com/wap/index-wap2.php
http://www.oasetarbiyah.com/?p=33

1 komentar:

  1. ayatnya gak kelihatan, atau cuma ditempat ku aja yang gak kliatannya?, klo boleh ngasih saran untuk nambah referensinya, bisa cari dibuku karangan Abdul Mujib judulnya Kepribadian dalam Psikologi Islam

    BalasHapus